Eep Sopwana N
BAB
I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG MASALAH
Masyarakat
adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar yang terikat
oleh suatu adat, ritus, atau bahkan ras, dan hidup bersama.[1]
Sudah menjadi sunatullaoh, tiap kelompok atau masyarakat mempunyai suatu
tatacara hidup tertentu. Adakalanya kelompok itu sampai meliputi masyarakat satu pulau,
daerah, suku, bangsa, negara, atau
sampai beberapa negara, atau satu benua. Sebenarnya dari beberapa group,
kelompok, suku, ada inti-inti kebudayan yang sama dan ada juga yang berbeda.
Bersamaan dengan perkembangan kebudayaan, bersama
itu pula berkembang ilmu pengetahuan, karena setiap perkembangan yang ada tidak
lepas dari pemahaman yang berkembang. Dan sesuai dengan berjalannya waktu,
perkembangan kebudayaan itu juga disertai dengan pemahaman-pemahaman yang ada
dan berkembang. Maka secara bertahap akan membentuk perubahan yang menuju lebih
baik dan berbudaya. Dan ini akan menghilangkan dan mempercepat isolasi budaya.
Cara lain yang bisa mempercepat
hilangnya isolasi adalah ilmu pengetahuan dengan hasil tekhnologi yang
dibutuhkan oleh kelompok-kelompok
fanatik kebudayaan. Dengan kata lain, tekhnologi adalah jembatan
ampuh antara kebudayaan, suku, dan bangsa. Akan tetapi
perdamaian antar bangsa (umat manusia) bisa saja dibahayakan oleh perlombaan
antar bangsa mengadu kekuatan hasil tekhnologi modern yang bisa mengundang
perang dunia dahsyat dan meghancurkan peradaban yang telah dicapai.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba mengkaji dan
mebahas masalah ilmu dan kebudayaan dengan rumusan sebagai berikut.
- Rumusan Masalah
1.
Bagaimana hubungan manusia dengan
kebudayaan?
2.
Bagaimana hubungan ilmu dan kebudayaan?
3.
Bagaimana peranan ilmu terhadap
pengembangan kebudayaan?
- Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan
makalah ini tiada lain bertujuan agar kita mengetahui lebih jauh lagi tentang
pola-pola kebudayaan serta kita lebih memahami betapa pentingnya peranan ilmu
pengetahuan terhadap pengembangan suatu kebudayaan. Sehingga pada akhirnya kita
lebih giat lagi dalam menggali ilmu pengetahuan dan diharapkan bisa memberikan
sumbangan terhadap perkembangan kebudayaan kita yang sesuai dengan nilai-nilai
dan norma-norma masyarakat setempat.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian Ilmu dan Kebudaya
Berbicara masalan ilmu
dan kebudayaan tidak lepas dari sumber ilmu dan kebudayaan tersebut, yaitu
akal. Maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu tentang hakikat akal.
Secara bahasa kata akal memiliki banyak arti, antara lain “sesuatu menjadi
tetap”[2]
Akal adalah jauharun
‘anil madah fi dzatihi muqoronun lahafi fi’lihi wa hiya al-nafsu al-natiqah,
yaitu mutiara yang terbebas dari materi dan bersamaan padanya dalam
tindakannya, dan itu adalah diri yang cerdas (berpikir). Akal juga merupakan
mutiara ruhani yang diciptakan Allah yang terkait dengan badan manusia. Akal
juga adalah cahaya hati yang akanmampu membedakan antara yang haq dan
yang bathil.[3]
Menahan diri dan berusaha menahan.[4]
Sebagian lain menterjemahkan akal dengan berusaha keras (asy-syadd). Itulah
beberapa pengertian pokok bagi kata akal yang hampir melingkupi seluruh buku
bahasa. Dan semua makna lain aebenarnya telah mencakup ke dalam pengertian di
atas tidak berbeda secara signifikan.[5]
Para ulama yang
mengkaji masalah akal menyebutkan tentang tidak adanya nama bagi akal, selain
ia sendiri dalam hakikat. Sedangkan makna akal dalam hakikat, bukan selainnya,
disebut dengan garizah biasa disebut “instink” yang diletakkan oleh
kepada kebanyakan manusia, di mana sebagian hamba dengan yang lainnya tidak
mencermatinya, tidak mengkaji lebih jauh, serta tidak mencermati dari sisi
indra, pengecapan, dan perasaan. Allah Swt. memperkenalkan akal ini kepada para
hamba-Nya melalui gharizah.[6]
Akal merupakan mutiara termahal yang dimiliki oleh manusia. Manusia tanpa
memfungsikan akalnya untuk mengenal Tuhannya, maka nilainya tidak ubahnya
seperti binatang.[7]
Selanjutnya penulis
akan menyebutkan beberapa pengertian tentang ilmu. Ilmu adalah hushulusy
syai fil aqli artinya hasilnya sesuatu dalam akal. Ilmu juga berarti dengannya
didapatnya sesuatu, hilangnya kasmaran dari yang diketahui. Ilmu adalah lawan
dari bodoh (jahil).[8]
Dengan ilmu itulah sesorang akan mengetahui, mengenal dan memahami berbagai hal
yang terkait dengannya, tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan.
Ilmu akan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berfikir menurut logika,
atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris ( trial and error).
Banyak
definisi kebudayaan yang disampaikan oleh para ahli, sebagiannya adalah :
Kebudayaan adalah hasil
karya cipta (pengolahan, pengerahan, dan penghargaan terhadap alam) oleleh
manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinai,
dan fakultas-fakultas ruhaniah lainnya) dan raganya, yang menyatakan dalam
pelbagai kehidupan ruhaniah ataupun kehidupan lahiriah manusia, sebagai jawaban
atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari intra diri manusia dan ekstra
diri manusia, menuju arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spiritual
dan material) manusia, baik “individu” maupun “masyarakat.”[9]
Soenarjo kolopaking
dalam prasarannya “kebudayaan, Masyarakat, dan perekonomian”, dalam kongres
kebudayaan Indonesia akhir Agustus 1948 mengatakan: “kebudayaan atau cultur
adalah totalitar daripada milik dan hasil usaha (prestatie) manusia yang
diciptakan oleh kekuatan jiwanya dan oleh proses saling mempengaruhi antara
kekuatan-kekuatan jiwa tadi dan antara jiwa manusia yang satu dengan yang
lainnya.[10]
Kebudayaan adalah hasil yang nyata dari pertumbuhan dan perkembangan rohani dan
kecerdasan suatu bangsa.[11]
Pada tahun 1871, E.B. Tylor dalam bukunya “Primitive
Culture” mendifiniskan kebudayaan
sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan , seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya
yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kemudian pada tahun 1952, Kroeber dan Kluckholn menginventarisir
lebih dari 150 definisi tentang kebudayaan yang dihasilkan oleh publikasi tentang
kebudayaan selama kurang lebih tiga perempat abad, namun pada dasarnya tidak
terdapat perbedaan yang bersifat prinsip dengan definisi pertama yang
dicetuskan Taylor. Pada tahun 1974 Kuntjaraningrat membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur
yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian,
sistem mata pencaharian, serta sistem tekhnologi dan peralatan.[12]
- Hubungan Manusia dan Kebudayaan
Dalam kehidupannya manusia mempunyai banyak sekali
kebutuhan maka hal inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai
tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam pemenuhan kebutuhan
ini manusia berbeda dengan binatang, kebudayaanlah dalam konteks ini yang
memberikan garis pemisah antara manusia dan binatang. Maslow
mengindentifikasikan lima kelompok kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologi,
rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi. Sementara binatang
kebutuhannya terpusat pada dua klompok pertama dari kategori maslow yakni
kebutuhan fisiologis dan rasa aman dan memenuhi kebutuhan ini secara
instinktif. Karena manusia tidak mempunyai kemampuan bertindak secara otomatis
yang berdasarkan instink tersebut maka manusia berpaling kepada kebudayaan yang
mengajarkan tentang cara hidup.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak secara instinktif
ini manusia diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar,
berkomunikasi dan menguasai objek-objek yang bersifat fisik disamping itu
manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang didalamnya terkandung
dorongan-dorongaan hidup yang dasar instink, perasaan, pikiran, kemauan dan
fantasi. Budi inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam
sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap objek dan kejadian. Maka pilihan
inilah yang menjadi tujuan dan isi kebudayaan.
Nilai-nilai budaya ini adalah jiwa dari kebudayaan dan
menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk
tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang
dikandungnya, pada dasarnya tata hidup merupakan pencerminan yang konkrit dari nilai budaya
yang bersifat abstrak. Kegiatan manusia dapat ditangkap oleh panca indera
sedangkan nilai budaya hanya tertangguk oleh budi manusia, maka nilai budaya
dan tata hidup manusia ditopang oleh perwujudan kebudayaan yang ketiga yang
berupa sarana kebudayaan, sarana kebudayaan ini merupakan perwujudan yang
bersifat fisik yang merupakan produk
dari kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan.
Keseluruhan fase dari kebudayaan itu erat hubungannya
dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan
diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat kegiatan belajar inilah
kebudayaan diteruskan dari generasi yang satu pada generasi selanjutnya.[13]
- Hubungan Ilmu dan Kebudayaan
Keterkaitan
ilmu dan kebudayaan dapat dilihat dari beberapa sisi, sebagai berikut:
- Perubahan Sosial
Perubahan sosial budaya
dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing.
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan
pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala
umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia
yang selalu ingin mengadakan perubahan. Dan pemahaman itu berkembang
berdasarkan pemahaman dari suatu kebudayaan dan satu pemahaman akan berubah
berdasarkan ilmu yang dipahaminya.
D. O’Neil, dalam
“Processes of Change mengatakan : “Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi
perubahan sosial”:
Ø Tekanan
kerja dalam masyarakat
Ø Keepektifan
komunikasi
Ø Perubahan
lingkungan alam
Perubahan
budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat,
penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya
zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing
inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.
- Penetrasi kebudayaan
Yang
dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan
ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:
Ø Penetrasi
damai (penetration pasifique)
Masuknya sebuah
kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan
Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak
mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat.
Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur
asli budaya masyarakat.
Karena
nilai-nilai agama yang terkandung berfungsi sebagai sumber moral bagi segenap
kegiatan hakikat semua upaya manusia dalam lingkup kebudayaan haruslah
ditujukan untuk meningkatkan martabat manusia. Sebab kalau tidak maka hal ini
bukanlah proses kebudayaan melainkan dekadensi/ keruntuhan peradaban dalam hal
ini maka agama memberikan kompas dan tujuan sebuah makna atau semacam arti yang
membedakan seorang manusia dari wujud berjuta galaksi meskipun bidang ilmu dan
teknologi berkembang pesat tetapi ternyata tidak memberikan kebahagiaan yang
hakiki dan ini menyebabkan manusia berpaling kembali kepada nilai-nilai agama
seperti juga seni dengan ilmu maka pun agama dengan ilmu saling melengkapi :
kalau ilmu bersifat nisbi dan pragmatis maka agama adalah mutlak dan abadi. Albert
Einstein mengungkapna hakikat ini dengan kata-kata “Ilmu tanpa agama adalah
buta, Agama tanpa Ilmu adalah lumpuh”.[14]
Ø Penetrasi
kekerasan (penetration violante)
Masuknya
sebuah kebudayaan dengan cara memaksa
dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman
penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan
yang merusak keseimbangan dalam masyarakat
D.
ILMU DAN PENGEMBANGAN BUDAYA
NASIONAL
Ilmu merupakan bagian
dari pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan
di sini merupakan system nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam
kehidupannya.
Ilmu dan kebudayaan
berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu
pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi
kebudayaannya. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi
jalannya kebudayaan. Talcot parsons mengatakan; ilmu dan kebudayaan saling
mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang
secara pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi
dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.
Dalam rangka
pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai peranan ganda. Pertama, ilmu
merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan
nasional. Kedua, ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukkan watak suatu
bangsa. [15]
Maka menurut fungsinya, ilmu bisa digolongkan menjadi dua golonagan.
Pertama ilmu sebagai suatu cara berpikir, dan kedua ilmu sebagai asas moral.
Dalam hal ini penulis akan sedikit menjelaskan bagaimana ilmu bisa dikatakan
sebagai suatu cara berpikir dan ilmu sebagai asas moral tersebut.
Ø Ilmu
sebagai suatu cara berpikir
Ilmu merupakan suatu cara
berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat
diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan,
demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu
merupakan produk dari proses berpikir
menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai
berpikir ilmiah.
Beberapa karakteristik ilmu sebagai proses
atau syarat berpikir ilmiah. Pertama, ilmu mempercayai rasio sebagai
alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Kedua, alur jalan pikiran
yang logis yang konsisten dengan pengetahuan yang telah ada. Ketiga,
pengujian secara empiris sebagai kriteria kebenaran objektif. Setelah
itu maka, pernyataan yang dijabarkan secara logis, dan telah teruji
secara empiris, maka ilmu dapat dianggap
benar secara ilmiah dan ini akan memperkaya khazanah pengetahuan ilmiah. Ke
empat, mekanisme terbuka terhadap koreksi.
Ø Ilmu
sebagai asas moral
Ilmu merupakan kegiatan
berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Kriteria kebenaran dalam
ilmu adalah jelas sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik berpikir.
Dalam menetapkan suatu pernyataan apakah itu benar atau tidak maka seorang
ilmuwan akan mendasarkan penarikan kesimpulannya kepada argumentasi yang
terkandung dalam pernyataan itu dan bukan kepada pengaruh yang berbentuk
kekuasaan dari kelembagaan yang mengeluarkan pernyataan itu.
Kebenaran
bagi kaum ilmuwan mempunyai kegunaan yang universal bagi umat manusia dalam
meningkatkan martabat kemanusiaannya. Secara nasional mereka tidak mengabdi
golongan, politik atau kelompok-kelompok lainnya, secara internasional mereka
tidak mengabdi ras, ideology, dan factor-faktor pembatas lainnya. Karakteristik
ini merupakan asas moral bagi kaum ilmuwan yakni meninggikan kebenaran dan
pengabdian secara universal.[16]
Dalam perkembangannya dengan
bantuan filsafat ilmu yang mencakup 3 asfek kajian yaitu, ontologi,
epistemologi, dan aksiologi dan meletakkan kelima unsur manusia (cipta, rasa,
karsa, nafsu, dan nurani) yang unifersal tersebut dalam lingkungan kajian
epistemiologi maka dapatlah dibangun ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan
serta cabang-cabangnya sepeti sosiologi, psikologi, ilmu polotik, ilmu ekonomi,
dan manajemen, antropologi, serta cabang-cabang keilmuan lainnya.[17]
Harus kita akui bahwa perkembangan
ilmu dan kebudayaan sangatlah luas, oleh sebab itu penulis akan sedikit
menyinggung perkembangan ilmu di bumi bagian Timur, yaitu :
Ø Zaman
Islam
Sejak awal
kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu.sebagaimana
kita ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW. ketika diutus oleh Allah sebagai rasul,
hidup dalam masyarakat yang terbelakang. Kemudian Islam datang menawarkan
cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Ø Taoisme
Taoisme adalah suatu
filsafat yang menduduki tempat penting di Cina. Pengaruhnya terhadap kebudayaan
Cina memang tidak sebesar seperti konfusianisme, akan tetapi Taoisme mempunyai
pandangan metafisik dan spekulatif terhadap kodrat realitas, alam semesta, dan
manusia. Kata taoisme diturunkan dari kata tao yang berarti jalan. Pendiri
taoisme adalah Lao Tzu. Tao diidentikkan dengan alam semesta. Segala sesuatu
dipandang sebagai yang satu. Dan yang satu ini adalah tao. Segala sesuatu
diturunkan dari tao.
Selain itu salah satu
pemahaman yang paling penting dari para Taois adalah kesadaran bahwa
transformasi dan perubahan merupakan gambaran-gambaran esensial dari alam. Para
taois melihat seluruh perubahan dalam alam sebagai manifestasi-manifestasi dari
situasi tarik menarik yang dinamis dari kutb yin dan yang yang
berlawanan, dan kemudian mereka menjadi yakin bahwa setiap pasangan dari kutub
tersebut secara dinamis berhubungan satu sama lainnya.[18]
Dengan kata lain, Tao
sebagai prinsip totalitas mempunyai dua unsur yang berlawanan yakni yin dan
yang. Kedua unsur ini bisa diartikan sebagai terang dan gelap, negatif dan
positif, aktif dan pasif, ada dan tidak ada. Dalam taoisme dualisme ini
relatif. Dualisme ini berada dalam kontradiksi yang mutlak, namun saling
melengkapi dalam fungsinya untuk berbuat apa saja di dunia ini.
Ø Konfusianisme
Konfusianisme adalah
filsafat tentang organisasi sosial, tentang akal sehat, dan pemikiran praktis.
Ia memberikan sebuah sistem pendidikan dan konvensi-konvensi yang tegas dari
etika sosial kepada masyarakat Cina. Salah satu tujuan utamanya adalah
membentuk suatu dasar etika untuk sistem keluarga tradisional Cina dengan
struktur kompleks dan ritual-ritualnya terhadap pemujaan leluhur. Konfusianisme
secara garis besar ditekankan dalam pendidikan anak-anak yang harus mempelajari
aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang dibuthkan bagi kehidupan
bermasyarakat.[19]
Pemikiran konfusianisme
dimulai dengan memeriksa dua fungsi utama akal budi manusia (fungsi menilai dan
memerintah). Akal budi dimengerti secara fungsional dengan mengacu pada
tipe-tipe aktivitas tertentu, misalnya menilai dan mengarahkan tindakan.
Ø Budhisme
Budhisme mengajarkan
apa yang perlu untuk mengatasi penderitaan. Budhisme tampil sebagai jalan pelepasan,
pembebasan diri dari dunia; jawaban atas kondisi manusia yang menyedihkan yaitu
suatu kelahiran kembali dalam hidup yang becirikan penderitaan, kesementaraan,
dan ketidakrelaan. Inti ajarannya adalah bahwa di dunia ini kita akan selalu
menghadapi kesedihan, penderitaaan, dan kegelisahan. Maka, ajaran Budha adalah
untuk menghapus semua penderitaan tersebut.[20]
Di
samping contoh perkembangan ilmu dan kebudayaan seperti penulis bahas di atas,
kita tidak boleh lupa akan nilai-nilai yang dikandung dalam ilmu itu sendiri.
Dimana Sedikitnya terdapat tujuh nilai
yang terpancar dari hakikat keilmuan yakni; kritis, rasional, logis,
obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian universal. Di manakah
lalu peranan ketujuh nilai tersebut dalam pengembangan kebudayaan nasional?
Pengembangan
kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang
bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan
aspirasi dan tujuan nasional. Proses pengembangan kebudayaan ini pada dasarnya
adalah penafsiran kembali dari nilai-nilai konvensional agar lebih
sesuai dengan tuntutan zaman serta, penumbuhan nilai-nilai baru yang
fungsional.
Untuk terlaksananya kedua proses
dalam pengembangan nasional tersebut maka diperlukan sifat kritis, rasional,
logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian universal.
Pengabdian universal ini dalam skala
nasional, adalah orientasi terhadap kebenaran tanpa ikatan primordial yang
mengenakan argumentasi ilmiah sebagai satu-satunya kriteria dalam menentukan
kebenaran.[21]
Rangkuman
Sekiranya bisa diterima bahwa ilmu bersifat mendukung
pengembangan kebudayaan nasional, maka masalahnya adalah, bagaimana
meningkatkan peranan keilmuan dalam kehidupan kita. Mesti disadarai bahwa
keadaan masyarakat kita masih jauh dari tahap masyarakat yang berorientasi pada
ilmu. Bahkan dalam masyarakat yang terdidikpun ilmu masih merupakan koleksi
teori-teori yang bersifat akademik yang sama sekali tidak fungsional dalam
kehidupan sehari-hari. Untuk itu maka diperlukan langkah-langkah sistemik untuk
meningkatkan peranan dan kegiatan keilmuan yang pada pokoknya mengandung
beberapa pemikiran diantaranya:
1. Ilmu
merupakan bagian dari kebudayaan, dan oleh sebab itu langkah-langkah ke arah
peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan harus memperhatikan situasi
kebudayaan masyarakat kita.
2. Ilmu
merupakan salah satu cara dalam menemukan kebenaran. Di samping ilmu masih
terdapat cara-cara lain yang sah sesuai dengan lingkup pendekatan dan
permasalahnnya masing-masing. Asas ini harus digarisbawahi agar usaha
mempromosikan ilmu tidak menjurus kepada timbulnya gejala yang disebut scientisme,
suatu gejala, yang disenut Gerald Holton, sebagai “kecanduan terhadap ilmu
dengan kecenderungan untuk membagi semua pemikiran kepada dua golongan yakni
ilmu dan omong kosong.
3. Asumsi
dasar dari semua kegiatan dalam menemukan kegiatan dalam menemukan kebenaran
adalah rasa percaya terhadap metode yang dipergunakan dalam kegiatan tersebut.
4. Pendidikan
keilmuan harus sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral. Makin pandai
seseorang dalam bidang keilmuan maka harus makin luhur landasan moralnya.
5. Pengembangan
bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat
terutama yang menyangkut keilmuan.. pengembangan yang seimbang antara ilmu dan filsafat akan bersifat saling
menunjang dan saling mengontrol terutama terhadap landasan epistemologis
(metode) dan aksiologis (nilai) keilmuan.
6. Kegiatan
ilmiah haruslah bersifat otonom yang terbebas dari kekangan struktur kekuasaan.
Pengendalian kegiatan keilmuan seperti yang pernah dilakukan pemerintah Nazi
dengan menyensor semua disertasi doktor atau pengarahan pemerintahan Uni Soviet
terhadap kegiatan keilmuan yang menimbulkan Lysenko-isme akan merugikan
ilmu itu sendiri dan harus dihindarkan. Ilmu tidak akan berkembang tanpa
kontrol kaum ilmuwan sendiri, kata Bernard Barber, dan otonomi ini diberikan
terhadap ilmu dalam dunia modern.[22]
DAFTAR
FUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer: Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1996
Shihab, M. Quraish. Wawasan Alqur’an,
Bandung: Mizan, 1996
Karen
Amstrong, Buddha: Bentang Budaya;Yogyakarta: 2003
Fritjop
Capra, Tao of Physics (Menyingkap Paralelisme Fisika Modern dsan Mistisisme
timur): Jalasutra; Yogyakarta, 2001
Syarif dalam makalahnya Ilmu dan Kebudayaan, 2010
Lembaga Kebudayaan Indonesia, Th. I, No. 1-2,
Agustus 1950
Nasroen, M, Kebudayaan Indonesia, Jakarta: 1951
Mahmud Thoha, APU, Paradigma Baru Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Jakarta: Teraju. 2004,
M. Badr al-Muthawwi, jasiem, Efisiensi waktu. Surabaya:
Risalah Gusti, 2001
Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam,
Bandung : Pustaka Salman ITB, 1983,
Ibn Mandzur. Lisan al-Arab, Dar al-Kutub al-Arabi, h
58
Al-Jarjani, At-Ta’rifat, Jiddah: Al-Haromain
Al-asfahani, Ar-Raggib, al-Mufrodat fi gharib
al-Qur’an wa al-Atsar, h 346
[1]
Shihab, M. Quraish. Wawasan Alqur’an, Bandung: Mizan, 1996, h. 319
[2] Ibn Mandzur. Lisan al-Arab, Dar al-Kutub
al-Arabi, h 58
[3] Al-Jarjani, At-Ta’rifat,
Jiddah: Al-Haromain
[4] Al-asfahani, Ar-Raggib,
al-Mufrodat fi gharib al-Qur’an wa al-Atsar, h 346
[5] Al-Jarjani, op. Cit, h 45
[6] Mahmud Thoha, APU, Paradigma
Baru Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Jakarta: Teraju. 2004,h. 5
[7] M. Badr al-Muthawwi,
jasiem, Efisiensi waktu. Surabaya: Risalah Gusti, 2001
[8] Al-Jarjani, op. Cit, h 155
[9] Endang Saifudin Anshari, Wawasan
Islam, Bandung : Pustaka Salman ITB, 1983, h. 87
[10] Lembaga Kebudayaan
Indonesia, Th. I, No. 1-2, Agustus 1950, h. 24
[11] Nasroen, M, Kebudayaan
Indonesia, Jakarta: 1951, h. 3
[12]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1996
[13]
Ibid, hal. 261-263
[14] Ibid, hal, 270
[15] Ibid, hal, 272
[16] Ibid, hal, 273-274
[17] Syarif dalam makalahnya Ilmu
dan Kebudayaan, 2010
[18] Fritjop Capra, Tao of
Physics (Menyingkap Paralelisme Fisika Modern dsan Mistisisme timur): Jalasutra; Yogyakarta, 2001
[19] Ibid, hal, 114
[20] Lihat, Buddha, Karen
Amstrong; Bentang Budaya;Yogyakarta: 2003, h.113
[21] Lihat, Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan: Jakarta, 1996, h.276
[22] Lihat, Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan: Jakarta, 1996, h.276 -279