Minggu, 10 Juni 2012

Ilmu dan Kebudayaan


Eep Sopwana N
BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR  BELAKANG MASALAH
Masyarakat  adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar yang terikat oleh suatu adat, ritus, atau bahkan ras, dan hidup bersama.[1] Sudah menjadi sunatullaoh, tiap kelompok atau masyarakat mempunyai suatu tatacara hidup tertentu. Adakalanya kelompok itu  sampai meliputi masyarakat satu pulau, daerah, suku, bangsa, negara,  atau sampai beberapa negara, atau satu benua. Sebenarnya dari beberapa group, kelompok, suku, ada inti-inti kebudayan yang sama dan ada juga yang berbeda.
Bersamaan dengan perkembangan kebudayaan, bersama itu pula berkembang ilmu pengetahuan, karena setiap perkembangan yang ada tidak lepas dari pemahaman yang berkembang. Dan sesuai dengan berjalannya waktu, perkembangan kebudayaan itu juga disertai dengan pemahaman-pemahaman yang ada dan berkembang. Maka secara bertahap akan membentuk perubahan yang menuju lebih baik dan berbudaya. Dan ini akan menghilangkan dan mempercepat isolasi budaya. Cara lain yang  bisa mempercepat hilangnya isolasi adalah ilmu pengetahuan dengan hasil tekhnologi yang dibutuhkan oleh kelompok-kelompok  fanatik kebudayaan. Dengan kata lain, tekhnologi adalah jembatan ampuh  antara  kebudayaan, suku, dan bangsa. Akan tetapi perdamaian antar bangsa (umat manusia) bisa saja dibahayakan oleh perlombaan antar bangsa mengadu kekuatan hasil tekhnologi modern yang bisa mengundang perang dunia dahsyat dan meghancurkan peradaban yang telah dicapai.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba mengkaji dan mebahas masalah ilmu dan kebudayaan dengan rumusan sebagai berikut.


  1. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hubungan manusia dengan kebudayaan?
2.      Bagaimana hubungan ilmu dan kebudayaan?
3.      Bagaimana peranan ilmu terhadap pengembangan kebudayaan?
  1. Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini tiada lain bertujuan agar kita mengetahui lebih jauh lagi tentang pola-pola kebudayaan serta kita lebih memahami betapa pentingnya peranan ilmu pengetahuan terhadap pengembangan suatu kebudayaan. Sehingga pada akhirnya kita lebih giat lagi dalam menggali ilmu pengetahuan dan diharapkan bisa memberikan sumbangan terhadap perkembangan kebudayaan kita yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat setempat.
                                               


BAB II
     PEMBAHASAN
  1. Pengertian Ilmu dan Kebudaya
Berbicara masalan ilmu dan kebudayaan tidak lepas dari sumber ilmu dan kebudayaan tersebut, yaitu akal. Maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu tentang hakikat akal. Secara bahasa kata akal memiliki banyak arti, antara lain “sesuatu menjadi tetap”[2]
Akal adalah jauharun ‘anil madah fi dzatihi muqoronun lahafi fi’lihi wa hiya al-nafsu al-natiqah, yaitu mutiara yang terbebas dari materi dan bersamaan padanya dalam tindakannya, dan itu adalah diri yang cerdas (berpikir). Akal juga merupakan mutiara ruhani yang diciptakan Allah yang terkait dengan badan manusia. Akal juga adalah cahaya hati yang akanmampu membedakan antara yang haq dan yang bathil.[3] Menahan diri dan berusaha menahan.[4] Sebagian lain menterjemahkan akal dengan berusaha keras (asy-syadd). Itulah beberapa pengertian pokok bagi kata akal yang hampir melingkupi seluruh buku bahasa. Dan semua makna lain aebenarnya telah mencakup ke dalam pengertian di atas tidak berbeda secara signifikan.[5]
Para ulama yang mengkaji masalah akal menyebutkan tentang tidak adanya nama bagi akal, selain ia sendiri dalam hakikat. Sedangkan makna akal dalam hakikat, bukan selainnya, disebut dengan garizah biasa disebut “instink” yang diletakkan oleh kepada kebanyakan manusia, di mana sebagian hamba dengan yang lainnya tidak mencermatinya, tidak mengkaji lebih jauh, serta tidak mencermati dari sisi indra, pengecapan, dan perasaan. Allah Swt. memperkenalkan akal ini kepada para hamba-Nya melalui gharizah.[6] Akal merupakan mutiara termahal yang dimiliki oleh manusia. Manusia tanpa memfungsikan akalnya untuk mengenal Tuhannya, maka nilainya tidak ubahnya seperti binatang.[7]
Selanjutnya penulis akan menyebutkan beberapa pengertian tentang ilmu. Ilmu adalah hushulusy syai fil aqli artinya hasilnya sesuatu dalam akal. Ilmu juga berarti dengannya didapatnya sesuatu, hilangnya kasmaran dari yang diketahui. Ilmu adalah lawan dari bodoh (jahil).[8] Dengan ilmu itulah sesorang akan mengetahui, mengenal dan memahami berbagai hal yang terkait dengannya, tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Ilmu akan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berfikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris ( trial and error).
Banyak definisi kebudayaan yang disampaikan oleh para ahli, sebagiannya adalah :
Kebudayaan adalah hasil karya cipta (pengolahan, pengerahan, dan penghargaan terhadap alam) oleleh manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinai, dan fakultas-fakultas ruhaniah lainnya) dan raganya, yang menyatakan dalam pelbagai kehidupan ruhaniah ataupun kehidupan lahiriah manusia, sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari intra diri manusia dan ekstra diri manusia, menuju arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spiritual dan material) manusia, baik “individu” maupun “masyarakat.”[9]
Soenarjo kolopaking dalam prasarannya “kebudayaan, Masyarakat, dan perekonomian”, dalam kongres kebudayaan Indonesia akhir Agustus 1948 mengatakan: “kebudayaan atau cultur adalah totalitar daripada milik dan hasil usaha (prestatie) manusia yang diciptakan oleh kekuatan jiwanya dan oleh proses saling mempengaruhi antara kekuatan-kekuatan jiwa tadi dan antara jiwa manusia yang satu dengan yang lainnya.[10] Kebudayaan adalah hasil yang nyata dari pertumbuhan dan perkembangan rohani dan kecerdasan suatu bangsa.[11]
Pada tahun 1871, E.B. Tylor dalam bukunya “Primitive Culture”  mendifiniskan kebudayaan sebagai keseluruhan yang mencakup  pengetahuan, kepercayaan , seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kemudian pada tahun  1952, Kroeber dan Kluckholn menginventarisir lebih dari 150 definisi tentang kebudayaan yang dihasilkan oleh publikasi tentang kebudayaan selama kurang lebih tiga perempat abad, namun pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip dengan definisi pertama yang dicetuskan Taylor. Pada tahun 1974 Kuntjaraningrat membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,  kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem tekhnologi dan peralatan.[12]

  1. Hubungan Manusia dan Kebudayaan
Dalam kehidupannya manusia mempunyai banyak sekali kebutuhan maka hal inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam pemenuhan kebutuhan ini manusia berbeda dengan binatang, kebudayaanlah dalam konteks ini yang memberikan garis pemisah antara manusia dan binatang. Maslow mengindentifikasikan lima kelompok kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi. Sementara binatang kebutuhannya terpusat pada dua klompok pertama dari kategori maslow yakni kebutuhan fisiologis dan rasa aman dan memenuhi kebutuhan ini secara instinktif. Karena manusia tidak mempunyai kemampuan bertindak secara otomatis yang berdasarkan instink tersebut maka manusia berpaling kepada kebudayaan yang mengajarkan tentang cara hidup.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak secara instinktif ini manusia diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai objek-objek yang bersifat fisik disamping itu manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang didalamnya terkandung dorongan-dorongaan hidup yang dasar instink, perasaan, pikiran, kemauan dan fantasi. Budi inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap objek dan kejadian. Maka pilihan inilah yang menjadi tujuan dan isi kebudayaan.
Nilai-nilai budaya ini adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya, pada dasarnya tata hidup merupakan  pencerminan yang konkrit dari nilai budaya yang bersifat abstrak. Kegiatan manusia dapat ditangkap oleh panca indera sedangkan nilai budaya hanya tertangguk oleh budi manusia, maka nilai budaya dan tata hidup manusia ditopang oleh perwujudan kebudayaan yang ketiga yang berupa sarana kebudayaan, sarana kebudayaan ini merupakan perwujudan yang bersifat fisik yang merupakan  produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan.
Keseluruhan fase dari kebudayaan itu erat hubungannya dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat kegiatan belajar inilah kebudayaan diteruskan dari generasi yang satu pada generasi selanjutnya.[13]

  1. Hubungan Ilmu dan Kebudayaan
Keterkaitan ilmu dan kebudayaan dapat dilihat dari beberapa sisi, sebagai berikut:
  1. Perubahan Sosial
Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi  sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Dan pemahaman itu berkembang berdasarkan pemahaman dari suatu kebudayaan dan satu pemahaman akan berubah berdasarkan ilmu yang dipahaminya.
D. O’Neil, dalam “Processes of Change mengatakan : “Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial”:
Ø  Tekanan kerja dalam masyarakat
Ø  Keepektifan komunikasi
Ø  Perubahan lingkungan alam
Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.
  1. Penetrasi kebudayaan
Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:
Ø  Penetrasi damai (penetration pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Karena nilai-nilai agama yang terkandung berfungsi sebagai sumber moral bagi segenap kegiatan hakikat semua upaya manusia dalam lingkup kebudayaan haruslah ditujukan untuk meningkatkan martabat manusia. Sebab kalau tidak maka hal ini bukanlah proses kebudayaan melainkan dekadensi/ keruntuhan peradaban dalam hal ini maka agama memberikan kompas dan tujuan sebuah makna atau semacam arti yang membedakan seorang manusia dari wujud berjuta galaksi meskipun bidang ilmu dan teknologi berkembang pesat tetapi ternyata tidak memberikan kebahagiaan yang hakiki dan ini menyebabkan manusia berpaling kembali kepada nilai-nilai agama seperti juga seni dengan ilmu maka pun agama dengan ilmu saling melengkapi : kalau ilmu bersifat nisbi dan pragmatis maka agama adalah mutlak dan abadi. Albert Einstein mengungkapna hakikat ini dengan kata-kata “Ilmu tanpa agama adalah buta, Agama tanpa Ilmu adalah lumpuh”.[14]
Ø  Penetrasi kekerasan (penetration violante)
Masuknya sebuah kebudayaan  dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat
D.    ILMU DAN PENGEMBANGAN BUDAYA NASIONAL
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan di sini merupakan system nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya.
Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Talcot parsons mengatakan; ilmu dan kebudayaan saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang secara pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.
Dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai peranan ganda. Pertama, ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional. Kedua, ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukkan watak suatu bangsa. [15] Maka menurut fungsinya, ilmu bisa digolongkan menjadi dua golonagan. Pertama ilmu sebagai suatu cara berpikir, dan kedua ilmu sebagai asas moral. Dalam hal ini penulis akan sedikit menjelaskan bagaimana ilmu bisa dikatakan sebagai suatu cara berpikir dan ilmu sebagai asas moral tersebut.
Ø  Ilmu sebagai suatu cara berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan  produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah.
 Beberapa karakteristik ilmu sebagai proses atau syarat berpikir ilmiah. Pertama, ilmu mempercayai rasio sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Kedua, alur jalan pikiran yang logis yang konsisten dengan pengetahuan yang telah ada. Ketiga, pengujian secara empiris sebagai kriteria kebenaran objektif.  Setelah  itu maka, pernyataan yang dijabarkan secara logis, dan telah teruji secara empiris,  maka ilmu dapat dianggap benar secara ilmiah dan ini akan memperkaya khazanah pengetahuan ilmiah. Ke empat, mekanisme terbuka terhadap koreksi.
Ø  Ilmu sebagai asas moral
Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah jelas sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik berpikir. Dalam menetapkan suatu pernyataan apakah itu benar atau tidak maka seorang ilmuwan akan mendasarkan penarikan kesimpulannya kepada argumentasi yang terkandung dalam pernyataan itu dan bukan kepada pengaruh yang berbentuk kekuasaan dari kelembagaan yang mengeluarkan pernyataan itu.
            Kebenaran bagi kaum ilmuwan mempunyai kegunaan yang universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaannya. Secara nasional mereka tidak mengabdi golongan, politik atau kelompok-kelompok lainnya, secara internasional mereka tidak mengabdi ras, ideology, dan factor-faktor pembatas lainnya. Karakteristik ini merupakan asas moral bagi kaum ilmuwan yakni meninggikan kebenaran dan pengabdian secara universal.[16] 
Dalam perkembangannya dengan bantuan filsafat ilmu yang mencakup 3 asfek kajian yaitu, ontologi, epistemologi, dan aksiologi dan meletakkan kelima unsur manusia (cipta, rasa, karsa, nafsu, dan nurani) yang unifersal tersebut dalam lingkungan kajian epistemiologi maka dapatlah dibangun ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan serta cabang-cabangnya sepeti sosiologi, psikologi, ilmu polotik, ilmu ekonomi, dan manajemen, antropologi, serta cabang-cabang keilmuan lainnya.[17]
Harus kita akui bahwa perkembangan ilmu dan kebudayaan sangatlah luas, oleh sebab itu penulis akan sedikit menyinggung perkembangan ilmu di bumi bagian Timur, yaitu :
Ø  Zaman Islam
Sejak awal kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu.sebagaimana kita ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW. ketika diutus oleh Allah sebagai rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang. Kemudian Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyyah  menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Ø  Taoisme
Taoisme adalah suatu filsafat yang menduduki tempat penting di Cina. Pengaruhnya terhadap kebudayaan Cina memang tidak sebesar seperti konfusianisme, akan tetapi Taoisme mempunyai pandangan metafisik dan spekulatif terhadap kodrat realitas, alam semesta, dan manusia. Kata taoisme diturunkan dari kata tao yang berarti jalan. Pendiri taoisme adalah Lao Tzu. Tao diidentikkan dengan alam semesta. Segala sesuatu dipandang sebagai yang satu. Dan yang satu ini adalah tao. Segala sesuatu diturunkan dari tao.
Selain itu salah satu pemahaman yang paling penting dari para Taois adalah kesadaran bahwa transformasi dan perubahan merupakan gambaran-gambaran esensial dari alam. Para taois melihat seluruh perubahan dalam alam sebagai manifestasi-manifestasi dari situasi tarik menarik yang dinamis dari kutb yin dan yang yang berlawanan, dan kemudian mereka menjadi yakin bahwa setiap pasangan dari kutub tersebut secara dinamis berhubungan satu sama lainnya.[18]
Dengan kata lain, Tao sebagai prinsip totalitas mempunyai dua unsur yang berlawanan yakni yin dan yang. Kedua unsur ini bisa diartikan sebagai terang dan gelap, negatif dan positif, aktif dan pasif, ada dan tidak ada. Dalam taoisme dualisme ini relatif. Dualisme ini berada dalam kontradiksi yang mutlak, namun saling melengkapi dalam fungsinya untuk berbuat apa saja di dunia ini.
Ø  Konfusianisme
Konfusianisme adalah filsafat tentang organisasi sosial, tentang akal sehat, dan pemikiran praktis. Ia memberikan sebuah sistem pendidikan dan konvensi-konvensi yang tegas dari etika sosial kepada masyarakat Cina. Salah satu tujuan utamanya adalah membentuk suatu dasar etika untuk sistem keluarga tradisional Cina dengan struktur kompleks dan ritual-ritualnya terhadap pemujaan leluhur. Konfusianisme secara garis besar ditekankan dalam pendidikan anak-anak yang harus mempelajari aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang dibuthkan bagi kehidupan bermasyarakat.[19]
Pemikiran konfusianisme dimulai dengan memeriksa dua fungsi utama akal budi manusia (fungsi menilai dan memerintah). Akal budi dimengerti secara fungsional dengan mengacu pada tipe-tipe aktivitas tertentu, misalnya menilai dan mengarahkan tindakan.
Ø  Budhisme
Budhisme mengajarkan apa yang perlu untuk mengatasi penderitaan. Budhisme tampil sebagai jalan pelepasan, pembebasan diri dari dunia; jawaban atas kondisi manusia yang menyedihkan yaitu suatu kelahiran kembali dalam hidup yang becirikan penderitaan, kesementaraan, dan ketidakrelaan. Inti ajarannya adalah bahwa di dunia ini kita akan selalu menghadapi kesedihan, penderitaaan, dan kegelisahan. Maka, ajaran Budha adalah untuk menghapus semua penderitaan tersebut.[20]
            Di samping contoh perkembangan ilmu dan kebudayaan seperti penulis bahas di atas, kita tidak boleh lupa akan nilai-nilai yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Dimana Sedikitnya terdapat tujuh nilai  yang terpancar dari hakikat keilmuan yakni; kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian universal. Di manakah lalu peranan ketujuh nilai tersebut dalam pengembangan kebudayaan nasional?
            Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional. Proses pengembangan kebudayaan ini pada dasarnya adalah penafsiran kembali dari nilai-nilai konvensional agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman serta, penumbuhan nilai-nilai baru yang fungsional.
            Untuk terlaksananya kedua proses dalam pengembangan nasional tersebut maka diperlukan sifat kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian universal. Pengabdian universal ini  dalam skala nasional, adalah orientasi terhadap kebenaran tanpa ikatan primordial yang mengenakan argumentasi ilmiah sebagai satu-satunya kriteria dalam menentukan kebenaran.[21]  
Rangkuman
Sekiranya  bisa diterima bahwa ilmu bersifat mendukung pengembangan kebudayaan nasional, maka masalahnya adalah, bagaimana meningkatkan peranan keilmuan dalam kehidupan kita. Mesti disadarai bahwa keadaan masyarakat kita masih jauh dari tahap masyarakat yang berorientasi pada ilmu. Bahkan dalam masyarakat yang terdidikpun ilmu masih merupakan koleksi teori-teori yang bersifat akademik yang sama sekali tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu maka diperlukan langkah-langkah sistemik untuk meningkatkan peranan dan kegiatan keilmuan yang pada pokoknya mengandung beberapa pemikiran diantaranya:
1.      Ilmu merupakan bagian dari kebudayaan, dan oleh sebab itu langkah-langkah ke arah peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan harus memperhatikan situasi kebudayaan masyarakat kita.
2.      Ilmu merupakan salah satu cara dalam menemukan kebenaran. Di samping ilmu masih terdapat cara-cara lain yang sah sesuai dengan lingkup pendekatan dan permasalahnnya masing-masing. Asas ini harus digarisbawahi agar usaha mempromosikan ilmu tidak menjurus kepada timbulnya gejala yang disebut scientisme, suatu gejala, yang disenut Gerald Holton, sebagai “kecanduan terhadap ilmu dengan kecenderungan untuk membagi semua pemikiran kepada dua golongan yakni ilmu dan omong kosong.
3.      Asumsi dasar dari semua kegiatan dalam menemukan kegiatan dalam menemukan kebenaran adalah rasa percaya terhadap metode yang dipergunakan dalam kegiatan tersebut.
4.      Pendidikan keilmuan harus sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral. Makin pandai seseorang dalam bidang keilmuan maka harus makin luhur landasan moralnya.
5.      Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang menyangkut keilmuan.. pengembangan yang seimbang  antara ilmu dan filsafat akan bersifat saling menunjang dan saling mengontrol terutama terhadap landasan epistemologis (metode) dan aksiologis (nilai) keilmuan.
6.      Kegiatan ilmiah haruslah bersifat otonom yang terbebas dari kekangan struktur kekuasaan. Pengendalian kegiatan keilmuan seperti yang pernah dilakukan pemerintah Nazi dengan menyensor semua disertasi doktor atau pengarahan pemerintahan  Uni Soviet  terhadap kegiatan keilmuan yang menimbulkan Lysenko-isme akan merugikan ilmu itu sendiri dan harus dihindarkan. Ilmu tidak akan berkembang tanpa kontrol kaum ilmuwan sendiri, kata Bernard Barber, dan otonomi ini diberikan terhadap ilmu dalam dunia modern.[22]

DAFTAR FUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer: Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1996
Shihab, M. Quraish. Wawasan Alqur’an, Bandung: Mizan, 1996
Karen Amstrong, Buddha: Bentang Budaya;Yogyakarta: 2003
Fritjop Capra, Tao of Physics (Menyingkap Paralelisme Fisika Modern dsan Mistisisme timur):  Jalasutra; Yogyakarta, 2001
Syarif dalam makalahnya Ilmu dan Kebudayaan, 2010
Lembaga Kebudayaan Indonesia, Th. I, No. 1-2, Agustus 1950
Nasroen, M, Kebudayaan Indonesia, Jakarta: 1951
Mahmud Thoha, APU, Paradigma Baru Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Jakarta: Teraju. 2004,
M. Badr al-Muthawwi, jasiem, Efisiensi waktu. Surabaya: Risalah Gusti, 2001
Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam, Bandung : Pustaka Salman ITB, 1983,
Ibn Mandzur. Lisan al-Arab, Dar al-Kutub al-Arabi, h 58
Al-Jarjani, At-Ta’rifat, Jiddah: Al-Haromain
Al-asfahani, Ar-Raggib, al-Mufrodat fi gharib al-Qur’an wa al-Atsar, h 346




[1] Shihab, M. Quraish. Wawasan Alqur’an, Bandung: Mizan, 1996, h. 319
[2]  Ibn Mandzur. Lisan al-Arab, Dar al-Kutub al-Arabi, h 58
[3] Al-Jarjani, At-Ta’rifat, Jiddah: Al-Haromain
[4] Al-asfahani, Ar-Raggib, al-Mufrodat fi gharib al-Qur’an wa al-Atsar, h 346
[5] Al-Jarjani, op. Cit, h 45
[6] Mahmud Thoha, APU, Paradigma Baru Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Jakarta: Teraju. 2004,h. 5
[7] M. Badr al-Muthawwi, jasiem, Efisiensi waktu. Surabaya: Risalah Gusti, 2001
[8] Al-Jarjani, op. Cit, h 155
[9] Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam, Bandung : Pustaka Salman ITB, 1983, h. 87
[10] Lembaga Kebudayaan Indonesia, Th. I, No. 1-2, Agustus 1950, h. 24
[11] Nasroen, M, Kebudayaan Indonesia, Jakarta: 1951, h. 3
[12] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1996
[13] Ibid, hal. 261-263
[14] Ibid, hal, 270
[15] Ibid, hal, 272

[16] Ibid, hal, 273-274
[17] Syarif dalam makalahnya Ilmu dan Kebudayaan, 2010
[18] Fritjop Capra, Tao of Physics (Menyingkap Paralelisme Fisika Modern dsan Mistisisme timur):  Jalasutra; Yogyakarta, 2001
[19] Ibid, hal, 114
[20] Lihat, Buddha, Karen Amstrong; Bentang Budaya;Yogyakarta: 2003, h.113
[21] Lihat, Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1996, h.276

[22] Lihat, Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1996, h.276 -279